Contemporary
worlds
Indonesia
Eko Nugroho
Sebagai bagian dari seniman generasi muda yang muncul pasca-Reformasi—dikenal dengan nama generasi 2000 atau generasi internet—Eko Nugroho adalah saksi perubahan pesat sosial dan politik setelah tumbangnya rezim Suharto yang berkuasa selama 32 tahun. Eko mengolah citraan budaya populer—seni jalanan, buku-buku komik, dan fiksi ilmiah—dan mencampurkannya dengan motif-motif batik dan wayang tradisional Jawa. Dengan cara ini, Eko mengembangkan karakter-karakter pop campuran (hybrid) yang melambangkan sikap zamannya. Karakter-karakter ini sering tampil dalam zine komik bawah tanahnya, Daging Tumbuh (DGTMB), yang digagas pertama kali pada tahun 2000 dalam bentuk kolaborasi dengan seniman lain, merayakan demokrasi yang baru dimenangkan. Akhir-akhir ini, karakter-karakter tersebut menemukan tempat baru setelah Eko mulai berkesperimentasi dengan beragam media lain—seni pahat, bordir, lukisan mural, pertunjukan wayang kulit kontemporer, dan instalasi. Namun praktik multidisipliner Eko tumbuh dari satu tujuan: menemukan ruang publik, dalam bentuk dan wujud apapun, untuk berbagi karya.
Mengawinkan seni patung, instalasi, dan batik, Carnival trap 2018 menampilkan kostum-kostum warna-warni yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan kaki karakter di baliknya. Dibuat lewat proses upcycle sampah plastik yang dikumpulkan di Yogyakarta, karya ini mengangkat keresahan Eko akan masalah plastik di Indonesia, yang berdampak ke seluruh nusantara. Karya ini bukan hanya memancing diskusi lokal antara si seniman dan masyarakatnya, tetapi juga menjadi kritik terhadap isu global pengelolaan sampah dan polusi alam. Secara konsep, karya ini menyamakan situasi politik di Indonesia kini dengan sebuah karnival, penuh lampu warna-warni, berisik dan euforia kolektif. Karya Eko memperingatkan tentang kehebohan yang seringkali dibuat-buat politisi; mengajak kita untuk bersikap kritis dan melihat apa yang tersembunyi di balik kemeriahan yang palsu dan menyesatkan ini.
Karya bordiran Eko juga berhubungan erat dengan masalah sosio-politik dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Throw away peace in the garden 2018 dan We keep it as hope, no more no less 2018 membandingkan demokrasi di Indonesia seperti sebuah taman di mana politik, agama, dan budaya bersinggungan dengan kusut bagai dahan, tumbuhan merambat, dan bunga liar. Bordiran mempunyai tempat unik dan penting dalam karya-karya Eko. Ia bahkan telah merintisnya menjadi bisnis yang mendukung komunitas tukang bordir di Yogyakarta.
Praktik kesenian Eko berakar dalam realita komunitasnya namun juga menawarkan pengamatan global yang jeli. Terbukti dalam praktik keseniannya yang beraneka ragam, Eko menunjukkan kesadaran akan kerumitan dan dilema kehidupan kontemporer di dalam dunia yang semakin saling terhubung.
Bianca Winataputri
Eko Nugroho