Agus Suwage
Salah satu seniman terkemuka dari generasinya, karya seni Agus Suwage meliputi lukisan, gambar, kolase, patung, dan instalasi. Ia terkenal dengan keahliannya menggunakan cat air dan, sejak pertengahan 1990-an, penggabungan potret diri sebagai motif utama karya-karyanya. Ketika dikombinasikan dengan imaji-imaji ikonik dari sejarah seni Indonesia dan Barat dan media massa kontemporer, objek-objek temuan, dan foto, pastiche yang dihasilkan membentuk leksikon berisi kritik sosial dan autokritik yang mengungkapkan rasa penasaran, sinisme, dan selera humor sang seniman.
Dalam Mr C dan Gauguin’s girl 2017 Agus mengapropriasi lukisan ikonik Paul Gauguin Spirit of the dead watching 1892 dan memberinya latar kontemporer; dengan cara itu mengubah pembacaan budaya, sosial, dan historis dari karya asli Gauguin. Sosok Teha’amana, istri Gauguin dari Tahiti, yang sedang tengkurap dilukis ulang dengan tambahan kuteks merah dan dipindahkan posisinya ke sofa merah muda di studio Agus yang berinterior modern, ditemani Mr C, anjing murung peliharaan sang seniman. Elemen-elemen yang bertebaran dalam kolase ini, termasuk tato harimau ganas, nyala api dan asap yang mengepul, membangkitkan kesan kehidupan kota kontemporer, sebuah dunia spektral yang penuh kekerasan dan kehancuran.
Ketertarikan Agus terhadap sejarah, peran seniman, dan kemiripan antara kekejaman dan pergumulan dalam dunia manusia dan hewan bersatu dalam Fragmen pustaka #2 after Raden Saleh 2018. Lukisan ini mengambil tempat di dalam perpustakaan di studio Agus dan dilukis pada halaman-halaman buku catatan yang penuh tulisan tangan. Karya ini menggabungkan potret pelukis Romantis Indonesia abad ke-19 Raden Saleh, Agus sendiri, dan lukisan Raden Saleh, Kuda Arab diterkam singa 1870.
Pengalaman pribadi selalu hadir dalam karya-karya Agus, seperti yang terlihat di Tembok toleransi (Wall of tolerance) 2012, yang mengungkapkan tanggapan sang seniman terhadap polusi suara dari azan yang disiarkan melalui pengeras suara masjid. Masalah ini mencapai klimaks pada tahun 2018 ketika seorang warga Indonesia yang memprotes volume azan menerima hukuman penjara 18 bulan atas tuduhan penistaan agama. Kasus ini menciptakan suasana penuh ketakutan dan menghambat diskusi seputar masalah polusi suara. Tembok toleransi mengantisipasi situasi ini, menghadirkan lanskap audio yang bisa ditoleransi semua orang tetapi ironisnya tidak berfungsi sebagai panggilan salat. Karya ini terdiri dari dinding bata biasa, yang biasanya dibangun di sekitar rumah untuk meredam kebisingan kota dan memberikan keamanan dan privasi. Dinding ini ditempeli telinga-telinga berlapis emas yang menyiarkan azan yang begitu lembut, sehingga hampir tidak terdengar.
Carol Cains