Tromarama
Didirikan oleh Febie Babyrose, Herbert Hans dan Ruddy Hatumena, Tromarama adalah salah satu kolektif seni new media Indonesia yang paling produktif, konsisten, dan inovatif. Karya-karya mereka mengeksplorasi hubungan antara dunia virtual dan fisik, dalam bentuk animasi stop-motion yang memuat objek-objek yang berinteraksi dengan satu sama lain dan lingkungan mereka. Keunikan karya mereka terletak dalam caranya merefleksikan animasi sebagai medium artistik dan posisinya dalam konteks sejarah seni Indonesia. Walau mengandalkan teknologi video dan komputer, Tromarama melintasi banyak batas genre seni. Pertaliannya dengan desain grafis, seni cetak, seni abstrak, dan gaya abstrak ekspresionis adalah kelanjutan dari tradisi pengajaran dan penciptaan seni di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, tempat seniman-seniman ini bertemu.
Dalam karya seperti Quandary 2016, kita dapat melihat dengan jelas kerja keras, ketelitian, kesabaran, dan bakat estetika Tromarama dalam mengatur objek, merekam, dan mengedit visual sehingga selaras dengan suara. Penonton disajikan dengan dua layar: layar pertama dipasang tinggi di dinding, layar kedua dipasang hampir menyentuh lantai. Objek sehari-hari—bola, mainan, botol plastik—tampak jatuh dari meja di layar yang satu ke lantai di layar lain. Namun, pemahaman penonton akan ruang, waktu, dan kontinuitas diganggu oleh kemahiran seniman memanipulasi objek dan durasi. Tak ada manusia yang hadir secara langsung di dalam video; objek-objek itulah yang menguasai panggung, dan berfungsi sebagai penanda atau jejak ketidakhadiran manusia. Video ini menunjukkan kepada kita bahwa benda-benda remeh yang sering diabaikan inilah yang sebenarnya ‘menganimasi’, menghidupkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya.
Secara umum, objek animasi Tromarama memiliki sifat manusiawi, bahkan cenderung lucu. Namun, karya-karya Tromarama juga merujuk ke masa depan suram di mana objek-objek itu telah mampu beroperasi mandiri tanpa bantuan manusia. Pada karya Intercourse 2015 sebuah layar menunjukkan kipas angin menggerakkan objek ringan—serbet kain, halaman-halaman buku telepon—di layar yang lain. Tapi di balik kejenakaannya, karya ini juga mengusulkan sebuah skenario lain yang lebih mengerikan: tempat di mana manusia telah kehilangan kendali atas lingkungan yang terlalu termediasi. Dengan mengaburkan batas antara realitas fisik dan virtual, Tromarama menghadirkan dunia hiperealitas dengan cara yang mengasyikkan untuk menguji dan, mungkin, mengubah persepsi dan ekspektasi penikmat karya mereka tentang hidup mereka sendiri yang telah begitu didominasi teknologi digital.
Dr Edwin Jurriëns