Contemporary
worlds
Indonesia

Duto Hardono

Musisi eksperimental dan seniman bunyi Duto Hardono menyelidiki berbagai kemungkinan bagaimana bunyi-bunyian bisa dihadirkan dalam konteks pameran. Ia sering menampilkan karya yang melibatkan objek temuan dan teknologi analog. Variation & improvisation for

‘In harmonia progressio’ 2016–17 adalah sebuah permainan vokal lengkap dengan instruksi; ia mengajak sekelompok orang untuk mengubah museum dan galeri ‘kubus putih’ menjadi ruang interupsi audio yang radikal. Instruksinya sederhana tapi sekaligus teramat rumit, karena mengundang interpretasi dan bentuk yang berbeda-beda. Duto melibatkan 12–15 ‘aktor’ suara untuk menafsirkan lewat telinga kemudian mengekspresikan secara fisik kata-kata ‘in, harmonia, progressio’. Kata-kata ini terus-menerus diulang, seperti tape loop, untuk membentuk komposisi vokal yang unik. Seperti permainan kuda bisik, instruksi awal ditafsirkan para aktor kemudian diuraikan menjadi makna-makna baru yang tak terduga.

Meski mengubah bunyi menjadi bentuk-bentuk baru bukan hal yang baru dalam seni suara, pilihan yang lahir dari interpretasi komunitas yang berbeda-beda yang dilibatkan, dengan latar belakang yang berbeda pula, menjadikan karya ini unik. Setiap kali ditafsirkan dan ditampilkan, karya ini menjadi komposisi vokal yang sepenuhnya baru.

Dalam beberapa tahun terakhir, karya-karya bunyi di galeri dan museum makin menarik perhatian seiring makin kuatnya fokus pada praktik live art dan penggalian hubungan historis antara seni visual dan suara. Akan tetapi, meski hubungan tersebut telah diakui, tampilnya karya-karya seperti ini di ruang museum—yang biasanya berfungsi melestarikan dan memajang seni, bukan menghidupkannya—hasilnya masih mengejutkan. Menampilkan karya seni pertunjukan secara langsung di ruang-ruang resmi semacam ini dapat dipandang sebagai usaha radikal untuk menggeser tujuan awal museum dan galeri kubus putih.

Dalam praktik seni kontemporer Indonesia, seni bisa ditemukan di mana saja—di pinggir jalan, di rumah kos, di tengah alam, di kafe dan restoran—dengan penekanan minimum pada ‘di mana’ dan perhatian maksimum pada ‘apa’. Aspek terpenting dari pembuatan seni adalah berbagi karya dengan komunitas, mencari dukungan dan mengajak orang-orang untuk terlibat. Demokratisasi seni ini adalah hal terbaik yang dilakukan praktik seni kontemporer Indonesia, sekaligus pendekatan berharga yang perlu diangkat pada diskursus seni internasional.

Kristi Monfries

Duto Hardono