Contemporary
worlds
Indonesia

Zico Albaiquni

Lukisan-lukisan Zico Albaiquni membangkitkan momen-momen penting dalam sejarah seni. Zico mengkaji dan menafsirkan berbagai genre dan konteks, mengumpulkan motif-motif demi menggali pertanyaan-pertanyaan mendasar soal peran seniman, serta soal peredaran dan fungsi seni. Dengan komposisi yang teatrikal, rujukan-rujukan sejarah Indonesia dan ikon-ikon budaya kontemporer berpadu dalam lukisan-lukisan yang saling berpotongan dengan palet warna yang cerah dan khas.

Di antara lanskap-lanskap Zico yang penuh jukstaposisi bisa ditemukan paradigma-paradigma tradisi Mooi Indië, bentuk lukisan yang diimpor dari gaya Romantis Eropa dan mendominasi seni rupa Indonesia era kolonial. Zico, terinspirasi oleh S. Sudjojono, bapak modernisme dan realisme sosial Indonesia yang dengan tajam mengkritik pelukis kolonial yang gemar menggambar pemandangan nusantara yang eksotis lengkap dengan pohon kelapa dan pegunungan—yang dalam warna yang berpendar-pendar kerap mengisi latar belakang karya-karya Zico—membandingkan tradisi Mooi Indië ini dengan seni kitsch yang diproduksi untuk wisatawan dan iklan zaman sekarang.

For evidently, the fine arts do not thrive in the Indies 2018 meminjam judul dari artikel Koos van Brakel, penulis dan peneliti gaya lukisan Hindia Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1999. Lukisan ini berlatar kios lukisan lokal, di dalamnya diletakkan contoh-contoh gambar pemandangan, alat pengajaran cara melukis lanskap. Semuanya diletakkan di belakang tiang-tiang berbentuk khas dari ruang pameran Katharina Grosse di Arsenale Venice Biennale pada tahun 2015. Dan semua ini mengelilingi sebuah foto dari abad ke-19 yang menggambarkan penduduk asli Papua memakai hiasan kepala dengan tambahan bulu-bulu yang telah dicat dari koleksi Leo Haks di National Gallery of Australia.1

Ladies and gentlemen! Kami present, Ibu Pertiwi! 2018 meminjam elemen-elemen dari lukisan Sudjojono, Kami Present, Ibu Pertiwi (Stand guard for our motherland) 1965 dan meletakannya di bawah pohon-pohon palem dari lukisan Raden Saleh, seniman Indonesia paling top di era Mooi Indië. Interior lukisan ini diinspirasi tekstil tradisional Indonesia yang dipamerkan di Festival couleurs d’Indonésie di Paris pada tahun 2018. Di atasnya, sekelompok pria Jawa melintas naik pesawat—sebuah gambar yang diambil dari foto studio dari tahun 1919.

Meski mengumpulkan ide-idenya dari genre-genre terdahulu, Zico tetap bagian dari seniman gelombang baru di Indonesia. Ia mencoba keluar dari pandangan poskolonial dan motivasi sosio-politik seniman-seniman pendahulunya, sekaligus merenungkan arti menjadi ‘pelukis’ di Indonesia, yang biasanya melibatkan konsep komunitas, ritual, dan spiritualitas. Zico memadukan pengaruh-pengaruh konseptual yang luas ini, dan bereksperimen dengan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana Indonesia dan masyarakatnya telah direpresentasikan di masa lalu, dan juga tentang di mana seni Indonesia—dan dirinya—ditempatkan dalam dunia seni internasional masa kini.

Tarun Nagesh

Catatan

  1. Foto perak bromida yang diwarnai dengan tangan ini diambil di Papua Barat, Indonesia, dan termasuk dalam koleksi Leo Haks (2007.3039) di National Gallery of Australia. Koleksi Leo Haks dikumpulkan di Amsterdam antara tahun 1977 dan 2007. Pria Eropa dalam foto tersebut diidentifikasikan sebagai Pastor Henri Guertjens oleh Raymond Corbey, Professor of Philosophy of Science and Anthropology, Leiden University, Belanda.

Zico Albaiquni