Contemporary
worlds
Indonesia

Tita Salina

Dalam praktik seninya, Tita Salina menggabungkan intervensi, instalasi, dan gambar bergerak untuk merespon isu spesifik di tempat tertentu yang memiliki resonansi global. 1001st island – the most sustainable island in archipelago 2015 mengangkat isu-isu lintas negara seperti perampasan hak warga, pencemaran lingkungan dan korupsi negara yang muncul sehubungan dengan rencana besar pemerintah Indonesia untuk merestorasi dan membangun kembali Teluk Jakarta.

Lama digerogoti berbagai permasalahan lingkungan, daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya telah lama mengalami dampak polusi ekstrem, berkurangnya stok ikan tangkap, dan penurunan tanah akibat ekstraksi air tanah untuk memenuhi kebutuhan air minum 10 juta penghuni Jakarta. Bersama dengan ancaman meningkatnya permukaan air laut, masalah-masalah tersebut membawa kerugian besar bagi warga yang tinggal di Teluk Jakarta dan sekitarnya, yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan pedagang kecil. Solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mengatasi berbagai isu lingkungan dan sosial yang kompleks ini adalah dengan membangun tanggul laut raksasa di sepanjang teluk, mengubahnya menjadi laguna buatan yang terlindung dari banjir, mengisi kawasan teluk dengan pulau-pulau buatan baru, dan membangun kembali area tepi pantai setelah menggusur warga yang tinggal di situ keluar dari wilayah kota. Banyak pihak yang skeptis terhadap efisiensi rencana ini dan mengkritiknya sebagai rencana yang diragukan basis ilmiahnya, diskriminatif secara sosial, dan membuang-buang anggaran.

Untuk membuat 1001st island, Tita bekerja sama dengan para nelayan yang tinggal di salah satu komunitas terancam untuk mengumpulkan sampah plastik yang banyak bertebaran di area teluk. Setelah dibungkus jaring, sampah plastik itu lalu diseret dengan perahu nelayan dan dilepaskan di tengah-tengah teluk menjadi pulau ke-1001 di antara gugusan kepulauan di wilayah Jakarta Utara yang dikenal dengan nama Kepulauan Seribu. Ironisnya, karena terbuat dari plastik yang tahan lama dan mampu mengapung di air, pulau ini hampir tidak bisa dimusnahkan. Proses peluncuran pulau ini direkam dengan kamera drone. Videonya menunjukkan Tita berdiri tegak di atas pulau buatannya, sendirian di laut luas.

Karya ini merupakan salah satu dari rangkaian proyek Tita bersama rekan seniman Irwan Ahmett melalui platform The flame of the Pacific. Mereka bertujuan mengeksplorasi dan menegosiasikan ketidakstabilan dan ketegangan yang hadir di komunitas-komunitas di kawasan Pasifik, serta menciptakan ruang-ruang imajiner untuk membahas dan mengangkat berbagai masalah melalui sebuah platform performatif. Sejauh ini, kedua seniman ini telah membangun jejaring dengan komunitas-komunitas lokal dalam 16 proyek yang tersebar di Taiwan, Tiongkok, Jepang, Indonesia, dan Selandia Baru, dan, lewat karya-karya kolaboratif yang berupa ‘tindakan pembangkangan sosial sehari-hari… mengintervensi status quo melalui seni’.1

Carol Cains

Catatan

  1. ‘Tentang The flame of the Pacific’, http://theflameofthepacific.com/about/, diakses 10 Desember 2018.

Tita Salina