Contemporary
worlds
Indonesia

Faisal Habibi

Nama Faisal Habibi sebagai seniman pertama kali mencuat sebagai bagian dari ‘gelombang Bandung’ pada akhir 2000-an. Seniman-seniman Bandung pada umumnya dianggap memiliki orientasi akademis dan konseptual yang kuat, sebagian dikarenakan adanya persepsi yang melekat pada Institut Teknologi Bandung sebagai ‘laboratorium kesenian Barat.’ Meski anggapan ini terkesan reduktif, investigasi ‘iseng’ yang dilakukan Faisal terhadap budaya material melalui media patung memang sarat pemikiran-pemikiran filosofis.

Faisal dikenal sebagai seorang penganut ‘object art’, pencipta bentuk-bentuk trimatra yang sekilas dapat dikategorikan sebagai patung, namun berbeda dari tradisi seni patung pada umumnya. Seperti rekan-rekan seangkatannya dari Bandung, Tromarama dan Wiyoga Muhardanto, Faisal menyoroti dominasi barang-barang produksi massal dalam kehidupan sehari-hari. Faisal memasukkan estetika desain industri ke dalam karyanya, juga gagasan tentang komoditas sebagai object of desire yang menjelma menjadi benda hidup dalam benak para konsumennya. Pertanyaan-pertanyaan tentang kegunaan (utility) sering ditemukan pada karya-karya terdahulunya—sekop yang bisa dilipat, palu yang memaku dirinya sendiri, serta benda-benda seperti kuas dan gergaji yang dibentuk amat rumit, membesar-besarkan secara sengaja unsur kegunaan perkakas dan alat-alat sederhana. Faisal juga sering bermain-main dengan persepsi dan ekspektasi dengan membuat serangkaian dekonstruksi desain furnitur yang terlihat indah namun sama sekali tidak berguna.

Selama beberapa tahun terakhir, perhatian Faisal mulai bergeser ke aspek-aspek sensual dari benda-benda sehari-hari, dengan fokus pada materialitas, warna, dan bentuk. Karya-karya terbarunya masih dibuat dari benda-benda umum yang mudah ditemui—tripleks motif kayu, pipa baja yang dicat, sumbat karet, bilah dengan berbagai bentuk dan kegunaan—tetapi fungsinya telah dihilangkan sama sekali. Dengan memfokuskan pada elemen estetis dari benda-benda tersebut, Faisal menciptakan ruang untuk melakukan refleksi, sejalan dengan ketertarikannya terhadap hubungan antara subjek dengan objek, dan antara manusia dengan benda-benda di sekitar mereka.

Mind the gap series 2015–17 adalah instalasi tiga bagian yang dibuat dari sekumpulan keping-keping sisa dari lempengan baja yang telah dipotong. Objek utama dari instalasi ini adalah susunan 100 keping baja yang dipajang di dinding membentuk persegi panjang kasar. Warna gelap berkarat keping-keping baja ini sangat kontras dengan warna dinding latar, sehingga memperjelas ruang-ruang yang tercipta di antara keduanya. Meski konfigurasi yang dirancang Faisal untuk keping-keping baja ini menciptakan kesan adanya ruang negatif (negative space) di dalam galeri, sampah industri ini sebenarnya sudah menjadi ruang negatif terlebih dahulu. Dengan demikian, Mind the gap 2015 adalah sebuah negasi ganda, keisengan sekaligus penyusunan ulang terhadap kategori seni rupa patung dan desain tradisional.

Reuben Keehan