Contemporary
worlds
Indonesia

Uji ‘Hahan’ H. Saputro

Dunia seni adalah jaringan megah yang terdiri dari sistem-sistem pengaruh yang menciptakan industri ketergantungan rumit dan ruwet yang dikuasai oleh ‘Tritunggal Kudus’ menurut istilah Uji ‘Hahan’ Handoko Eko Saputro: kolektor, galeri, dan seniman. Praktik seni Hahan yang cerdik dan tanpa tedeng aling-aling menginvestigasi struktur industri industri ini dan bagaimana ‘Tritunggal Kudus’ tersebut didorong oleh ‘hasrat kembar’ kesuksesan kritis dan komersil.

Hahan masih di sekolah seni di Yogyakarta saat pasar seni internasional mulai menaruh minat pada seni kontemporer Indonesia. Pada pertengahan 2000-an harga-harga karya seni asal Indonesia mulai naik tajam, dan para kurator, kolektor, dan pedagang mulai mendatangi Yogyakarta guna mencari bintang baru. Pada akhir 2000-an, seniman-seniman Indonesia mulai menghiasi sampul katalog lelang Sotheby’s, dipamerkan dalam pameran tunggal di museum seni internasional terkemuka dan menarik perhatian galeri komersial besar. Hahan menyaksikan fenomena ini secara langsung dan dengan cermat melacaknya. Penelitian yang tekun ini menggiringnya pada intrik dunia seni sebagai subjek utama praktik seninya.

Silent Operation: Sign study based on the formula of contemporary (visual) art 2018–19 adalah karya paling ambisius Hahan saat ini. Karya yang dikembangkan bersama Adi ‘Uma Gumma’ Kusuma ini mentransformasi seluruh galeri menjadi analisis struktural mendalam tentang dunia seni. Instalasinya sendiri mewujudkan selera kontemporer yang sering dijumpai di pameran seni dan bienal: lampu-lampu neon dengan warna-warna yang saling bertabrakan. Karya ini terlihat megah dan sedikit membuat gelisah. Pusatnya adalah ‘peta otak’ dalam aplikasi game untuk melacak rute menuju kesuksesan dalam dunia seni. Pengunjung diajak bermain sekaligus ‘memelihara jaringan’ dan merenungkan harga-harga untuk berusaha menemukan formula yang tepat agar sukses menjadi seniman kontemporer. Usaha menavigasi langkah-langkah mereka dengan cepat membuat pengunjung sadar bahwa tidak ada jalur yang benar-benar jelas, tidak ada jaminan kesuksesan, yang ada hanya relasi yang harus terus-menerus dipelihara.

Praktik Hahan ditandai oleh inklusivitas; estetikanya menarik bagi pengunjung yang baru pertama kali masuk galeri dan lelucon semiotiknya menghibur bahkan bagi sejarawan seni yang paling gampang bosan. Berkat usahanya untuk berkomunikasi dalam berbagai level, tiap pengunjung akan meninggalkan pamerannya dengan rasa berdaya. Keberpihakannya pada pengunjung ini membongkar dengan gamblang proses rumit dan struktur tertutup dunia kesenian—sebuah upaya tersendiri untuk mendemokratisasikan sistem yang ada. Namun jangan salah duga, meski karyanya dipuji-puji oleh krikitus seni, Hahan tetap lebih senang mencari perhatian publik luas.

Mikala Tai

Uji ‘Hahan’ H. Saputro