Contemporary
worlds
Indonesia

Post-Reformasi soundscape

Bentang Bebunyian Pasca-Reformasi

Pada 1998 bentang bebunyian Indonesia berubah secara dramatis dengan munculnya unjuk rasa besar-besaran yang mengakhiri rezim Orde Baru Presiden Suharto. Pada 21 Mei tahun itu, Suharto mengumumkan: “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia.” Setelah itu bunyi yang berbeda pecah—puluhan ribu orang turun ke jalan merayakan kejatuhan rezim, bernyanyi dan bersorak-sorai dengan lantang. Setelah dibungkam selama 32 tahun, kebisingan tiba-tiba melanda negeri ini. Indonesia era pasca-Reformasi menghadirkan ekologi akustik yang rumit, yang bergerak, bertabrakan, dan bersautan secara konstan. Meski dialog dalam bentuk kebebasan berpendapat dan perdebatan terbuka menjadi akar bentang bebunyian Indonesia, dampak dari sejarah pembungkaman politik dan penyensoran di negara ini tetap ada di mana-mana. Seniman-seniman Indonesia sangat peka dengan kerumitan bunyi dan keheningan, dan melibatkan diri secara kritis dengan bentang bunyi Indonesia dalam era pasca-Reformasi.

Seniman senior FX Harsono telah lama berkarya untuk mengakhiri pembungkaman terhadap kelompok-kelompok minoritas di Indonesia. Melalui penelusuran penuh nuansa tentang kisah dan pengalaman orang Tionghoa di Indonesia yang menjadi korban kebengisan dan penculikan rezim Orde Baru, karya FX Harsono juga berfungsi sebagai aktivisme sosial. Karyanya, yang mengakui ketidakadilan di masa lampau, merupakan satu langkah menuju penyembuhan katarsis. Sementara itu, seniman Julian Abraham “Togar”, Jompet Kuswidananto, dan Agus Suwage memproduksi pahatan bunyi dan rekaman lapangan yang menjadi semacam “sound check” bagi kita di level lokal maupun nasional. Karya-karya mereka mengingatkan pentingnya menyimak secara aktif dan terus-menerus di Indonesia serta menekankan tanggung jawab sosial yang lahir dari kegiatan menyimak kata-kata orang lain tersebut.

Audiens internasional yang menikmati bebunyian karya-karya ini mengalami perluasan pemahaman sensoris atas Indonesia; mereka sekarang melihat negeri ini sebagai “penyiar” yang kompleks. Yang terus menggema adalah gagasan bahwa bentang bebunyian yang terus berubah di abad kedua puluh satu ini—dunia yang kita dengar—ternyata sama pentingnya dengan dunia yang kita pandang.